Selasa, 20 November 2012

Kampung Vietnam Batam


Sejarah kampung vietnam

Pulau Galang menjadi penampungan pengungsi asal Vietnam pada 1979-1996. 

Peristiwanya terjadi pertengahan tahun 1970-an setelah berakhirnya perang Vietnam yang ternyata menghadapkan dunia internasional pada masalah serius para pengungsi. Pemicu utamanya adalah jatuhnya Vietnam Selatan ke tangan kekuasaan Vietnam Utara atau Vietkong, selain situasi kaostis di Kamboja.
Pulau Galang mencuat namanya sekitar 18 tahun lalu, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia internasional, karena sekira 3,5 tanahnya yang masih menghutan, oleh UNHCR (United Nation High Commission for Refugees,) atas persetujuan pemerintah pusat, dibangun pusat pemukiman sementara pengungsi Vietnam yang meninggalkan negerinya karena dilanda perangan. Para pengungsi Vietnam itu dikenal pada waktu itu sebagai “manusia perahu”. Menurut keterangan para petugas yang masih berada di tempat permukiman itu, orang-orang Vietnam yang keluar dari kampung halamannya itu mengarungi sekitar Laut Cina Selatan dan masuk perairan Indonesia dengan menggunakan perahu tua berbagai ukuran yang bocor. Pada setiap perahu itu ada yang berpenumpang sekira 40-100 orang, terdampar atau mendamparkan diri di sekitar pantai Tanjung Uban, Kepulauan Natuna, Pulau Galang dan di sekitar pulau-pulau kecil lainnya yang tidak berpenghuni. Pada waktu itu mereka ditemukan dan ditolong oleh patroli Angkatan Laut Indonesia dan para nelayan setempat.

Peristiwa tersebut yang kemudian menimbulkan kekhawatiran banyak orang di wilayah selatan Vietnam dan mendorong mereka meninggalkan kampung halamannya untuk mencari perlindungan baru. Dengan demikian, banyak alasan para pengungsi itu meninggalkan tanah air mereka, laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak menyelamatkan diri. Mereka dengan menggunakan perahu tua yang bocor itu, berlayar ke laut terbuka tanpa tujuan yang jelas, dan sampailah di perairan Indonesia. Di kemudian hari mereka menjadi masalah banyak negara dan melibatkan perhatian dunia internasional.

Indonesia pada saat itu adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memberikan respons yang muncul terhadap masalah internasional yang urgen itu. Dan menolong para pengungsi itu untuk masuk, dan setuju Pulau Galang yang terletak sekira 50 km sebelah selatan Pulau Batam dan hanya sekira setengah jam dari Singapura dengan menggunakan feri, dipilih sebagai tempat transit para pengungsi Vietnam. Sambil menunggu mereka secara administratif diproses untuk dikirim ke negara ketiga.

Di areal peruntukan pemukiman di Pulau Galang itu, UNHCR membangun perkampungan yang dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana lengkap dan sangat memadai, seperti jalan yang teratur dan kualitas sangat baik yang menghubungkan dengan pelabuhan kecil yang digunakan sebagai lalu lintas suplai kebutuhan hidup para pengungsi itu. Tempat ini dikenal dengan nama Pelabuhan Karyapura. Di situ terdapat restoran makanan laut yang diusahakan oleh para pengungsi, gedung pertemuan, sekolah, gereja, pintu masuk melalui darat dan bangunan untuk fasilitas latihan para petugas daerah. Di pemukiman tersebut, dibangun pula perumahan untuk pegawai lokal UNHCR, pagoda, rest area, camping ground, “Galang Memorial Hall”. Ada sekira 500 orang meninggal di kampung Vietnam itu, karena memang sudah tua dan sakit. Mereka dikuburkan dalam suatu areal pemakaman yang teratur dan terawat baik.

Perumahan pengungsi dan sarana gedung lainnya yang sekarang sebagian besar tampak tidak terawat, kecuali bangunan suci umat Budha (pagoda) dimanfaatkan dan dirawat orang-orang Budha Cina Riau. Bangunan yang ada itu sekarang sedang direnovasi dan dimanfaatkan sebagai salah satu unggulan kawasan wisata pemerintah daerah Batam.

Suatu tempat yang sangat ideal untuk dijadikan areal pendidikan di alam terbuka bagi anak-anak dan pemuda, semacam bumi perkemahan Cibubur di Jakarta. Selain itu tempat tersebut menarik dikunjungi, baik turis lokal maupun mancanegara untuk melihat sambil mengagumi nilai-nilai yang terkandung di balik pembangunan perkampungan tersebut. Juga sambil melakukan refleksi diri, pelajaran apa yang dapat dipetik dari peristiwa itu untuk masa depan kehidupan umat manusia.
“Kampung Vietnam” di Pulau Galang yang sejak tahun 1979-1996 pernah dihuni sekira 250.000 orang manusia perahu yang dikumpulkan dari berbagai tempat di sekitar Kepulauan Riau itu. Sebelumnya mereka hidup bersama penduduk setempat dengan imbalan barang-barang yang mereka bawa. Pada umumnya mereka memberikan imbalan berupa emas. Dan kesan penduduk yang pernah berhubungan dengan para pengungsi itu, di antara mereka tampaknya banyak orang yang tergolong berada. Atas prakarsa pemerintah dan UNHCR, sengaja mereka dikonsentrasikan pada suatu tempat permukiman yang tertutup interaksinya dengan penduduk setempat untuk memudahkan pengawasan, pengaturan dan keamanan mereka. Selain itu, pemerintah khawatir akan berjangkitnya penyakit kelamin yang mengerikan yang kedapatan di antara mereka, yang disebut Vietnam Rose, sebelum orang mengenal virus HIV yang lebih mengerikan lagi.

Sekarang, perkampungan para pengungsi Vietnam itu telah menjadi wilayah terbuka untuk dikunjungi masyarakat karena telah ditinggalkan para pengungsi.

Selama 18 tahun, dengan dukungan mengesankan dari komunitas internasional, UNHCR/badan PBB yang berurusan dengan masalah-masalah pengungsi dan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Angkatan Laut pada waktu itu, para pengungsi Vietnam yang dilindungi di Pulau Galang telah berhasil dipulangkan. Sekira 5.000 orang pengungsi kembali ke kampung halamannya dan yang lainnya meninggalkan Pulau Galang menuju tanah airnya yang baru, tersebar di negara-negara ketiga, di antaranya ada yang menuju Australia dan Amerika Serikat. Perkampungan Vietnam yang sejuk dan indah serta jauh dari keramaian itu, bagi mereka hanya tinggal kenangan yang tentu sulit untuk mereka lupakan. Di mana UNHCR dan pemerintah Indonesia menyatakan bahwa areal permukiman Vietnam itu menjadi wilayah konservasi sebagai “museum terbuka” untuk umum yang dilindungi keberadaannya sebagai bukti kepada dunia bahwa Indonesia memiliki komitmen tinggi dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang penting dalam sejarah peradaban modern di Asia Tenggara.
Pada tahun 1996, seluruh pengungsi dipulangkan kembali ke negara-nya, dan sekarang objek wisata bersejarah tersebut dapat kita nikmati dan kita jadikan pembelajaran tentang bagaimana perjuangan masyarakat Vietnam bertahan hidup di tanah rantau.

Para manusia kapal
Para ‘manusia kapal’

4 komentar:

  1. Saya melihat ini adalah sebuah sejarah yg bernilai. Namun sayang pemerintah ( Bp batam ) kelihatanya tidak serius dalam melestarikanya. Akhir tah7n 2016 saya jembali berjunjung ke situs bersejarah ini. Saya sempat terkejut. Ditahun sebelumnya masih terlihat ada bangunan kayu yg reot di pingiran sungai persis di sebelah kanan jembatan maduk rumah ibadah. Namun tahun 2017 pemandangan ini sdh tdk ada. Padahal situs ini tergolong masih belia. Kampung ini menurut cerita diatas diringgal tahun 1990 an. Hehe. Jika orang bisa melestarikan yg sdh ratusan bahkan ribuan tahun. Ini 20 tahunan waduh. Padahal setiap masuk kaeasan mobil saya di badrol rp. 20 .000. Apa yg salah. Ngak mampu serahkan ke pemko pak. Pemko ngak mampu, pasti ada orang yg mampu. Ayo lihat fihara bertahan. Mungkin karena kerja jemaat nya. Pada hal ada pepatah bijak berkata " bangsa yg besar adalah bangsa yg menghargai pahlawan dan sejarahny" jas merah kata bung karno. Jika bpk lihat ada banyak toris ke sana, saya kira bukan karena konsep pelestarianya. Tapi ndak ada wisata pulihan di kepri. Mana ayo tunjukin. Demikian....

    BalasHapus
  2. Gambling in New York - MapyRO
    하남 출장샵 gambling-bettingsites › gambling-bettingsites Casinos Near 여수 출장샵 Me 강릉 출장마사지 · New York · New York · Connecticut · 경상남도 출장안마 New York · Connecticut 충주 출장샵 · Nevada · Delaware. New York · Connecticut · Nevada.

    BalasHapus